Kebersihan Hati
Oleh : MuhammadNadzri
Penulisan ini merupakan hasil tugasan bagi kuliah Bahasa Indonesia semasa penulis mengambil Ijazah Syariah di Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara. Ditulis asal dalam Bahasa Indonesia.
Seringkali kita berbicara soal kebersihan. Kebersihan diri, pakaian, makanan, tempat tinggal dan lain–lain. Pendekatan lingkungan perbicaraan kita tidak terlepas dari berbicara soal kebersihan luaran atau zahir semata–mata. Tahukah kita kebersihan itu sebenarnya terbahagi dari kebersihan lahiriah (external) dan juga bathiniah (internal). Kebersihan lahiriah itu boleh dilihat dan dirasai melalui pancaindera kita manakala kebersihan bathiniah dapat dilihat dan dirasai melalui melalui deria hati dan perasaan. Kadangkala ianya juga dapat dilihat melalui pancaindera biasa.
Hakikatnya, ramai yang terpedaya dengan kebersihan lahiriah ini. Mereka tertarik dengan kebersihan dan kekemasan yang ada pada seseorang bahkan nilaian mereka selalu terikat pada harta benda dan wang. Pakaian yang bersih dan penampilan yang menarik selalu membuat nilaian manusia menjadi keliru. Lebih menakjubkan lagi jika sesorang itu pandai berkata–kata, bercanda serta berpuisi.
Maka mereka mengganggap orang yang baik, jujur,amanah, penyayang itu ialah mereka yang kelihatan kemas, baik penampilan, enak tutur kata sebagai orang yang mulia lagi bersih segala galanya. Tidak dinafikan peribadi begini wajar dimiliki oleh mereka–mereka yang terpandang sebagai orang yang berbudi pekerti mulia. Cuma tidak hanya luaran saja yang dinilai atau dipandang tetapi faktor yang lebih menunjanginya ialah kebersihan dalaman disamping kebersihan dan luaran. Dari sini kita boleh saja mengambil ajaran dari junjungan besar kita nabi Muhammad SAW dimana suatu hari nabi pernah menyebut dalam sabda beliau yang bermaksud “Sesungguhnya Allah tidak hanya memandang pada jasadmu, wajahmu tetapi terus sehingga pada hatimu” . Ini satu dalil buat kita supaya tidak memandang manusia hanya dari luaran tetapi sehingga kepada hati budi dan tata kesantunan .
Berlanjutan dari hal ini ,kita melihat para alim ulama menulis bermacam– macam perkara yang terkait dalam kebersihan hati . Imam Ghazali umpanya menyebut hati manusia itu terbahagi kepada empat : pertama hati orang mukmin iaitu hati yang bersih dari segala dosa, keduan hati orang yang fasik hati yang masih lagi memiliki iman tetapi masih kekal dalam dosa, ketiga hati orang munafiq iaitu hati yang tiada iman bahkan dipenuhi kepura–puraan, keempat hati orang kafir iaitu hati yang tiada iman dan sentiasa kufur. Hati mukmin itu saja yang bersih
Kebersihan hati lebih penting dan lebih utama dari pada kebersihan fisik. Hati yang bersih akan melahirkan tubuh dan perilaku yang bersih dan sihat pula. Kebersihan hati adalah “inner beauty” yang akan terpancar dari pribadi yang memilikinya.
Dalam sebuah “pengajian” di masjid, Rasulullah SAW mengabarkan tentang hadirnya seorang calon penghuni syurga di tengah mereka. Orang tersebut tidak dikenal oleh para sahabat, bahkan namanya sekalipun. Ia bukan tokoh, bukan public figure, namun tiba-tiba menjadi sangat istimewa.
Para sahabat merasa tertanya, apa yang istimewa pada diri orang itu hingga Rasulullah SAW menjulukinya sebagai calon penghuni syurga. Salah seorang sahabat, Abdullah bin Amr, bertekad memantau dari dekat orang itu, agar lebih jelas mengetahui apa keistimewaannya. Abdullah lalu meminta izin untuk bertamu di rumah orang tersebut selama tiga hari.
Selama bertamu, Abdullah mengawasi amal tuan rumah, gerak-gerinya, tutur katanya, dan cara ibadahnya, hampir-hampir ia tidak tidur kerana takut kalau ada amal tuan rumah yang tidak dapat disaksikan. Namun, Abdullah tidak mendapatkan amal tuan rumah yang istimewa. Amalannya biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol dibanding dengan sahabat-sahabat lainnya, sebagaimana diajarkan dan dicontohkan Rasulullah SAW.
Sebelum pulang, Abdullah pun bertanya, gerangan apakah amalan istimewa tuan rumah sehingga ia dianggap sebagai calon penghuni syurga. Jawabnya, “Tidak ada, selain yang engkau telah lihat. Hanya saja aku belum pernah melakukan kepalsuan terhadap siapa pun dari kalangan umat Islam. Dan aku tidak pernah hasad (iri hati) kepada seseorang yang dianugerahi (nikmat) oleh Allah SWT.” Abdullah berkata, “Itulah yang dapat meningkatkan darjatmu”.
Dalam riwayat lain, orang itu menjawab: “Wahai sahabat, seperti yang kau lihat dalam kehidupan sehari-hariku. Aku adalah seorang Muslim biasa dengan amalan biasa pula. Namun, ada satu kebiasaanku yang boleh aku beritahu padamu. Setiap menjelang tidur, aku berusaha membersihkan hatiku. Aku maafkan orang-orang yang menyakitiku dan aku buang semua dengki, dendam, dan perasaaan buruk kepada semua saudaraku sesama Muslim. Hingga aku tidur dengan tenang dan hati bersih serta ikhlas. Barangkali itulah yang menyebabkan Rasulullah menyebutku demikian (calon penghuni syurga)”.
Kisah popular itu setidaknya mengajarkan satu hal penting kepada kita, kebersihan hati merupakan kunci syurga. Dengan kata lain, amal istimewa sang calon penghuni syurga adalah menjaga kebersihan hati. Lalu, kenapa kebersihan hati?
Di antara semua anggota atau organ tubuh kita, hati mempunyai status dan fungsi paling istimewa. Hati adalah motor, motivator, atau penggerak anggota tubuh lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tidak hairan kalau dalam sebuah hadisnya, Rasulullah SAW menyatakan hati menjadi penentu baik-buruknya amal atau diri seseorang. “Ingatlah, sesungguhnya dalam dirimu ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh dirimu. Apabila segumpal daging itu buruk, maka buruk pulalah seluruh dirimu. Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati”.
Hati adalah tempat lahirnya niat atau hasrat untuk bertindak. Hati juga adalah tempatnya takwa. Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah SAW menyatakan “attaqwa hahuna” (takwa itu di sini) seraya menunjuk dadanya. Kita sering mendengar orang mengatakan, “yang penting hatinya baik”. Hal itu benar adanya. Kerana, Allah SWT pun tidak menilai apa pun dari diri kita kecuali hati dan amalnya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menilai bentuk tubuhmu, suaramu, tidak juga rupamu, melainkan Dia menilai hati dan amalmu.”
Dalam Al-Quran ditegaskan, salah satu ciri orang benar-benar beriman adalah bergetar hatinya ketika mendengar nama Allah dan bertambah imannya ketika ayat-ayat-Nya dibacakan (QS. 8: 2). Dalam hidup seharian, kita sering mendengar orang berpesan atau memberi nasihat dengan ucapan: “Hati-hati!”. Ketika kita hendak pergi, kita dinasihati agar hati-hati; ketika hendak menulis, dipesankan agar hati-hati, ketika hendak bicara juga dipesankan agar hati-hati. Padahal, yang bekerja secara lahiriahnya adalah tangan, kaki, dan mulut. Itu menunjukkan, hati memang pokok atau pangkal segala amal. Hatilah yang menggerakan dan mengendalikan tangan, kaki, dan mulut kita.
Hati adalah tempat atau pusat segala perasaan (emosi). Rasa sedih, senang, marah, benci, dendam, dengki, cinta, dan sebagainya ada dalam hati. Kondisi hati berpengaruh kuat pada kondisi badan atau anggota tubuh lain. Orang yang sedang “tidak enak hati” akan tampak pucat wajahnya, lesu, tidak berghairah.
Eksistensi kalbu merupakan pusat penalaran dan kehendak, yang berfungsi untuk berfikir, memahami sesuatu, dan bertugas atas aktualisasi terhadap segala sesuatu. Kalbu dapat dikategorikan intuisi atau pandangan yang dalam, yang mempunyai rasa keindahan, dan kehidupannya dari sinar mentari yang membawa manusia pada kebenaran, dan sebagai alat untuk mengenal kebenaran ketika pengindraan tidak memainkan peranannya.
Menurut Ibnu Athaillah Al- Sakandari, seorang sufi terkemuka, menyatakan bahwa kalbu merupakan sebahagian esensi kehidupan manusia. Sebagai tokoh ulama yang zahid, wara' serta sebagai duta orang-orang arif dan imam para sufi, Athaillah mengemukakan pentingnya kalbu sebagai mata batin dan nurani manusia. Bahkan, ia menegaskan bahwa untuk meraih derajat tinggi dan tempat mulia di hadapan Allah, diperlukan kedalaman pengetahuan pada diri Muhammad saw, sebagai utusan Allah. Bagi kaum Muslim, sosok utama yang perlu diikuti dan dihormati adalah Rasulullah, kata Athailah dengan nada semangat. Dengan mengikuti sunnah Rasul, secara pasti kehidupan ini akan terbimbing ke arah jalan yang diredhai Allah.
Muhammad Saw adalah orang yang senantiasa terjaga kesucian hatinya. Nabi benar-benar menjadi sosok publik yang sangat disegani, dihormati kerana hatinya yang sangat mulia. Dengan nada dan gaya yang fulgar, Athaillah sampaikan membuka rahsia, bahwa salah satu penyebab kejayaan dirinya menjadi seorang sufi, kerana dia telah mengikuti Rasulullah baik secara lahir mahupun batin.
Adapun metodologi untuk menjaga kesucian kalbu adalah dengan taubat. Secara bahasa, taubat berakar dari kata ta-a-ba yang berarti kembali. Artinya kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat yang terpuji, kembali dari larangan Allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang diredhai-Nya, kembali dari yang saling bertentangan menuju yang saling menyenangkan, dan seterusnya.
Jalan taubat sengaja di buka oleh Allah agar jika seorang Muslim melakukan kesalahan, baik yang besar mahupun kecil, ia wajib segera kembali kepada jalan Allah. Dengan mengutip ayat Al-Quran, Athaillah menyeru: "Kembalilah kamu sekalian kepada jalan Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". Mengapa manusia perlu bertaubat? Kerana manusia dihidupkan dan dimatikan hanya oleh Allah. Sehingga modal untuk kembali kepada Allah hanyalah dengan keadaan suci (fitrah) dari segala bentuk dosa dan perbuatan maksiat, yang menentang keMahaKuasaan Allah. Untuk menundukkan kalbu juga bisa dengan muhasabah (introspeksi diri).
Manusia seharusnya mempunyai kesedaran bahawa dirinya selalu dalam pengawasan Allah di manapun ia berada, baik siang mahupun malam. Dengan demikian, manusia akan terdorong untuk melakukan muhasabah (introspeksi diri, perhitungan, evaluasi) terhadap amal perbuatan, tingkah laku dan sikap kalbunya sendiri. Lagi-lagi, menurut Athailah, muhasabah dapat direncanakan sebelum melakukan sesuatu secara tepat dan matang dengan mempertimbangkan terlebih dahulu baik-buruk dan manfaat perbuatannya itu. Satu hal lagi yang menjadi catatan agar kalbu tetap suci adalah sikap ikhlas.
Secara etimologi, ikhlas berakar dari kha-la-sha yang bererti bersih, jernih, murni, tidak tercampur. Ikhlas bagaikan air bening yang belum tercampur oleh zat apapun. Sikap ikhlas bererti membersihkan atau memurnikan dari setiap kemahuan, keinginan yang didasarkan bukan kepada Allah.
Ikhlas mengajarkan kepada manusia agar berbuat tanpa pamrih, hanya semata-mata mengharapkan redha Allah. Kerana, setiap perbuatan harus diawali dengan kata niat. Seperti yang dianjurkan Nabi: "Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niat. Dan sesungguhnya setiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya."
Sebagaimana yang terpaparkan di atas, tulisan ini merupakan salah kunci untuk menjaga kebersihan hati (kalbu). Jika hal ini memang benar, ini adalah kerana hidayah dan ilmu Allah yang diturunkan melalui hamba-Nya.
Penulisan ini merupakan hasil tugasan bagi kuliah Bahasa Indonesia semasa penulis mengambil Ijazah Syariah di Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara. Ditulis asal dalam Bahasa Indonesia.
Seringkali kita berbicara soal kebersihan. Kebersihan diri, pakaian, makanan, tempat tinggal dan lain–lain. Pendekatan lingkungan perbicaraan kita tidak terlepas dari berbicara soal kebersihan luaran atau zahir semata–mata. Tahukah kita kebersihan itu sebenarnya terbahagi dari kebersihan lahiriah (external) dan juga bathiniah (internal). Kebersihan lahiriah itu boleh dilihat dan dirasai melalui pancaindera kita manakala kebersihan bathiniah dapat dilihat dan dirasai melalui melalui deria hati dan perasaan. Kadangkala ianya juga dapat dilihat melalui pancaindera biasa.
Hakikatnya, ramai yang terpedaya dengan kebersihan lahiriah ini. Mereka tertarik dengan kebersihan dan kekemasan yang ada pada seseorang bahkan nilaian mereka selalu terikat pada harta benda dan wang. Pakaian yang bersih dan penampilan yang menarik selalu membuat nilaian manusia menjadi keliru. Lebih menakjubkan lagi jika sesorang itu pandai berkata–kata, bercanda serta berpuisi.
Maka mereka mengganggap orang yang baik, jujur,amanah, penyayang itu ialah mereka yang kelihatan kemas, baik penampilan, enak tutur kata sebagai orang yang mulia lagi bersih segala galanya. Tidak dinafikan peribadi begini wajar dimiliki oleh mereka–mereka yang terpandang sebagai orang yang berbudi pekerti mulia. Cuma tidak hanya luaran saja yang dinilai atau dipandang tetapi faktor yang lebih menunjanginya ialah kebersihan dalaman disamping kebersihan dan luaran. Dari sini kita boleh saja mengambil ajaran dari junjungan besar kita nabi Muhammad SAW dimana suatu hari nabi pernah menyebut dalam sabda beliau yang bermaksud “Sesungguhnya Allah tidak hanya memandang pada jasadmu, wajahmu tetapi terus sehingga pada hatimu” . Ini satu dalil buat kita supaya tidak memandang manusia hanya dari luaran tetapi sehingga kepada hati budi dan tata kesantunan .
Berlanjutan dari hal ini ,kita melihat para alim ulama menulis bermacam– macam perkara yang terkait dalam kebersihan hati . Imam Ghazali umpanya menyebut hati manusia itu terbahagi kepada empat : pertama hati orang mukmin iaitu hati yang bersih dari segala dosa, keduan hati orang yang fasik hati yang masih lagi memiliki iman tetapi masih kekal dalam dosa, ketiga hati orang munafiq iaitu hati yang tiada iman bahkan dipenuhi kepura–puraan, keempat hati orang kafir iaitu hati yang tiada iman dan sentiasa kufur. Hati mukmin itu saja yang bersih
Kebersihan hati lebih penting dan lebih utama dari pada kebersihan fisik. Hati yang bersih akan melahirkan tubuh dan perilaku yang bersih dan sihat pula. Kebersihan hati adalah “inner beauty” yang akan terpancar dari pribadi yang memilikinya.
Dalam sebuah “pengajian” di masjid, Rasulullah SAW mengabarkan tentang hadirnya seorang calon penghuni syurga di tengah mereka. Orang tersebut tidak dikenal oleh para sahabat, bahkan namanya sekalipun. Ia bukan tokoh, bukan public figure, namun tiba-tiba menjadi sangat istimewa.
Para sahabat merasa tertanya, apa yang istimewa pada diri orang itu hingga Rasulullah SAW menjulukinya sebagai calon penghuni syurga. Salah seorang sahabat, Abdullah bin Amr, bertekad memantau dari dekat orang itu, agar lebih jelas mengetahui apa keistimewaannya. Abdullah lalu meminta izin untuk bertamu di rumah orang tersebut selama tiga hari.
Selama bertamu, Abdullah mengawasi amal tuan rumah, gerak-gerinya, tutur katanya, dan cara ibadahnya, hampir-hampir ia tidak tidur kerana takut kalau ada amal tuan rumah yang tidak dapat disaksikan. Namun, Abdullah tidak mendapatkan amal tuan rumah yang istimewa. Amalannya biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol dibanding dengan sahabat-sahabat lainnya, sebagaimana diajarkan dan dicontohkan Rasulullah SAW.
Sebelum pulang, Abdullah pun bertanya, gerangan apakah amalan istimewa tuan rumah sehingga ia dianggap sebagai calon penghuni syurga. Jawabnya, “Tidak ada, selain yang engkau telah lihat. Hanya saja aku belum pernah melakukan kepalsuan terhadap siapa pun dari kalangan umat Islam. Dan aku tidak pernah hasad (iri hati) kepada seseorang yang dianugerahi (nikmat) oleh Allah SWT.” Abdullah berkata, “Itulah yang dapat meningkatkan darjatmu”.
Dalam riwayat lain, orang itu menjawab: “Wahai sahabat, seperti yang kau lihat dalam kehidupan sehari-hariku. Aku adalah seorang Muslim biasa dengan amalan biasa pula. Namun, ada satu kebiasaanku yang boleh aku beritahu padamu. Setiap menjelang tidur, aku berusaha membersihkan hatiku. Aku maafkan orang-orang yang menyakitiku dan aku buang semua dengki, dendam, dan perasaaan buruk kepada semua saudaraku sesama Muslim. Hingga aku tidur dengan tenang dan hati bersih serta ikhlas. Barangkali itulah yang menyebabkan Rasulullah menyebutku demikian (calon penghuni syurga)”.
Kisah popular itu setidaknya mengajarkan satu hal penting kepada kita, kebersihan hati merupakan kunci syurga. Dengan kata lain, amal istimewa sang calon penghuni syurga adalah menjaga kebersihan hati. Lalu, kenapa kebersihan hati?
Di antara semua anggota atau organ tubuh kita, hati mempunyai status dan fungsi paling istimewa. Hati adalah motor, motivator, atau penggerak anggota tubuh lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tidak hairan kalau dalam sebuah hadisnya, Rasulullah SAW menyatakan hati menjadi penentu baik-buruknya amal atau diri seseorang. “Ingatlah, sesungguhnya dalam dirimu ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh dirimu. Apabila segumpal daging itu buruk, maka buruk pulalah seluruh dirimu. Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati”.
Hati adalah tempat lahirnya niat atau hasrat untuk bertindak. Hati juga adalah tempatnya takwa. Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah SAW menyatakan “attaqwa hahuna” (takwa itu di sini) seraya menunjuk dadanya. Kita sering mendengar orang mengatakan, “yang penting hatinya baik”. Hal itu benar adanya. Kerana, Allah SWT pun tidak menilai apa pun dari diri kita kecuali hati dan amalnya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menilai bentuk tubuhmu, suaramu, tidak juga rupamu, melainkan Dia menilai hati dan amalmu.”
Dalam Al-Quran ditegaskan, salah satu ciri orang benar-benar beriman adalah bergetar hatinya ketika mendengar nama Allah dan bertambah imannya ketika ayat-ayat-Nya dibacakan (QS. 8: 2). Dalam hidup seharian, kita sering mendengar orang berpesan atau memberi nasihat dengan ucapan: “Hati-hati!”. Ketika kita hendak pergi, kita dinasihati agar hati-hati; ketika hendak menulis, dipesankan agar hati-hati, ketika hendak bicara juga dipesankan agar hati-hati. Padahal, yang bekerja secara lahiriahnya adalah tangan, kaki, dan mulut. Itu menunjukkan, hati memang pokok atau pangkal segala amal. Hatilah yang menggerakan dan mengendalikan tangan, kaki, dan mulut kita.
Hati adalah tempat atau pusat segala perasaan (emosi). Rasa sedih, senang, marah, benci, dendam, dengki, cinta, dan sebagainya ada dalam hati. Kondisi hati berpengaruh kuat pada kondisi badan atau anggota tubuh lain. Orang yang sedang “tidak enak hati” akan tampak pucat wajahnya, lesu, tidak berghairah.
Eksistensi kalbu merupakan pusat penalaran dan kehendak, yang berfungsi untuk berfikir, memahami sesuatu, dan bertugas atas aktualisasi terhadap segala sesuatu. Kalbu dapat dikategorikan intuisi atau pandangan yang dalam, yang mempunyai rasa keindahan, dan kehidupannya dari sinar mentari yang membawa manusia pada kebenaran, dan sebagai alat untuk mengenal kebenaran ketika pengindraan tidak memainkan peranannya.
Menurut Ibnu Athaillah Al- Sakandari, seorang sufi terkemuka, menyatakan bahwa kalbu merupakan sebahagian esensi kehidupan manusia. Sebagai tokoh ulama yang zahid, wara' serta sebagai duta orang-orang arif dan imam para sufi, Athaillah mengemukakan pentingnya kalbu sebagai mata batin dan nurani manusia. Bahkan, ia menegaskan bahwa untuk meraih derajat tinggi dan tempat mulia di hadapan Allah, diperlukan kedalaman pengetahuan pada diri Muhammad saw, sebagai utusan Allah. Bagi kaum Muslim, sosok utama yang perlu diikuti dan dihormati adalah Rasulullah, kata Athailah dengan nada semangat. Dengan mengikuti sunnah Rasul, secara pasti kehidupan ini akan terbimbing ke arah jalan yang diredhai Allah.
Muhammad Saw adalah orang yang senantiasa terjaga kesucian hatinya. Nabi benar-benar menjadi sosok publik yang sangat disegani, dihormati kerana hatinya yang sangat mulia. Dengan nada dan gaya yang fulgar, Athaillah sampaikan membuka rahsia, bahwa salah satu penyebab kejayaan dirinya menjadi seorang sufi, kerana dia telah mengikuti Rasulullah baik secara lahir mahupun batin.
Adapun metodologi untuk menjaga kesucian kalbu adalah dengan taubat. Secara bahasa, taubat berakar dari kata ta-a-ba yang berarti kembali. Artinya kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat yang terpuji, kembali dari larangan Allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang diredhai-Nya, kembali dari yang saling bertentangan menuju yang saling menyenangkan, dan seterusnya.
Jalan taubat sengaja di buka oleh Allah agar jika seorang Muslim melakukan kesalahan, baik yang besar mahupun kecil, ia wajib segera kembali kepada jalan Allah. Dengan mengutip ayat Al-Quran, Athaillah menyeru: "Kembalilah kamu sekalian kepada jalan Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". Mengapa manusia perlu bertaubat? Kerana manusia dihidupkan dan dimatikan hanya oleh Allah. Sehingga modal untuk kembali kepada Allah hanyalah dengan keadaan suci (fitrah) dari segala bentuk dosa dan perbuatan maksiat, yang menentang keMahaKuasaan Allah. Untuk menundukkan kalbu juga bisa dengan muhasabah (introspeksi diri).
Manusia seharusnya mempunyai kesedaran bahawa dirinya selalu dalam pengawasan Allah di manapun ia berada, baik siang mahupun malam. Dengan demikian, manusia akan terdorong untuk melakukan muhasabah (introspeksi diri, perhitungan, evaluasi) terhadap amal perbuatan, tingkah laku dan sikap kalbunya sendiri. Lagi-lagi, menurut Athailah, muhasabah dapat direncanakan sebelum melakukan sesuatu secara tepat dan matang dengan mempertimbangkan terlebih dahulu baik-buruk dan manfaat perbuatannya itu. Satu hal lagi yang menjadi catatan agar kalbu tetap suci adalah sikap ikhlas.
Secara etimologi, ikhlas berakar dari kha-la-sha yang bererti bersih, jernih, murni, tidak tercampur. Ikhlas bagaikan air bening yang belum tercampur oleh zat apapun. Sikap ikhlas bererti membersihkan atau memurnikan dari setiap kemahuan, keinginan yang didasarkan bukan kepada Allah.
Ikhlas mengajarkan kepada manusia agar berbuat tanpa pamrih, hanya semata-mata mengharapkan redha Allah. Kerana, setiap perbuatan harus diawali dengan kata niat. Seperti yang dianjurkan Nabi: "Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niat. Dan sesungguhnya setiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya."
Sebagaimana yang terpaparkan di atas, tulisan ini merupakan salah kunci untuk menjaga kebersihan hati (kalbu). Jika hal ini memang benar, ini adalah kerana hidayah dan ilmu Allah yang diturunkan melalui hamba-Nya.
Ulasan
Catat Ulasan
Kereta rosak panggil pomen,
Sudah baca harap komen. XD