Teori Ketata Negaraan Menurut Sunni Dan Syiah

Oleh : MuhammadNadzri

Penulisan ini merupakan hasil tugasan bagi kuliah Fiqh Siyasah semasa penulis mengambil Ijazah Syariah di Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, telah dibentangkan pada tarikh 23 Disember 2013. Ditulis asal dalam Bahasa Indonesia.


Tata cara menjalankan dan memimpin sesebuah negara merupakan aspek yang sangat penting bagi keberadaan sesebuah negara. Selain itu, mempelajari pola pikir politik sangat perlu untuk mengetahui ciri-ciri politik dalam sesebuah negara.

           Di dalam perkembangan pengajaran Islam dewasa ini, dikenali dengan beberapa pahaman dan pegangan yang muncul, walaupun masih sama kononnya berteraskan fahaman dan ajaran asal Islam, namun hakikatnya apabila ianya diteliti dengan lebih terperinci, maka dapat dilihatlah beberapa perbedaan dan perincian yang menyimpang dalam sesetengah ajaran, walaupun setiap satunya mengklaim bahawa masing-masing merupakan pegangan yang paling tepat dan murni.


           Akibat yang timbul daripada perbedaan ini, maka lahirlah beberapa negara yang berbeda-beda cara pegangnya terhadap prinsip-prinsip dasar, sama ada dari sudut prinsip sosial, budaya mahupun ke arah yang lebih besar yaitu prinsip ketatanegaraan sesebuah negara.

           Dalam perkembangan awal sistem ketatanegaraan Islam, ada empat aliran yang timbul yaitu Sunni, Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah. Namun di dalam perbahasan ini, pemakalah akan membahaskan lebih lanjut berkenaan teori kenegaraan menurut Sunni dan Syiah sahaja.



PEMBAHASAN

           Menurut Ibnu Taimiyah, pembahasan tentang pelaksanaan amanat negara terdiri dari dua yaitu wilayat (jabatan dan metodologi pengangkatannya) dan harta kekayaan negara.[1] Di dalam perbahasan ini, pemakalah akan lebih mengfokuskan tentang politik kepemimpinan dan pengangkatannya bagi tiap sudut pandang Sunni dan Syiah.

A. KETATA NEGARAAN SUNNI

           Pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro terhadap pemerintah yang berkuasa. Pemikiran-pemikiran dari ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan. Kalangan ulama’ Sunni pada umumnya melarang rakyat melakukan pemberontakan terhadap penguasa walaupun zalim. Kalangan Sunni biasanya menganggap bahawa kekuasaan kepala negara (khalifah) berasal dari Tuhan. [2]

           Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh Al-Ghazali berkenaan sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahawa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i. Mustahil ajaran-ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya adalah negara.[3]

           Berbeda dengan pendapat lainnya, teori lain mengatakan bahawa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian di antara agama dan rakyatnya, atau adanya kontrak sosial.[4] Dari pendapat ini, lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan penguasa. Pemahaman ini juga menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih. Kepatuhan ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang jahat.

           Ibnu Taimiyah merumuskan bahawa, enam puluh tahun berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa pemimpin. Beliau juga dengan tegas menyatakan kekuasaan kepada negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya. [5] Melalui pemikiran ini, dapat disimpulkan akhirnya pemerintah mempunyai hak-hak tertentu atas rakyatnya. Abul ‘Ala Al-Maududi mengkasifikasikan hak-hak pemerintah atas rakyatnya berdasarkan empat perkara daripada sumber dalil Al-Quran,[6] yaitu :

i. Agar mereka taat kepadanya : Q.S. An-Nisa’ : 59

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ اَمَنُوا اَطِيعُوا اللهَ وَ اَطِيعُوا الرَّسُولَ وَ اُوْلِى الْاَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu,”[7]

ii. Agar mereka menaati undang-undang, berpegang dengannya dan tidak menimbulkan kerosakan dalam sistem atau aturannya : Q.S. Al-‘Araf : 85

وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا

“Dan janganlah kamu merugikan orang sedikit pun, dan janganlah kamu berbuat kerosakan di bumi setelah ia (diciptakan dalam keadaan) baik.”[8]

iii. Agar mereka membantunya dalam semua usaha kebaikan : Q.S. Al-Maidah : 2

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْاِثْمِ وَ الْعُدْوَانَ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”[9]

iv. Agar mereka bersedia mengorbankan jiwa dan diri mereka dalam mempertahankan dan membelanya : Q.S. At-Taubah : 39

إِلَّا تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا اَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيْئًا وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Jika kamu tidak berangkat (untuk berperang), niscaya Allah akan menghukum kamu dengan azab yang pedih dan menggantikan kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan merugikan-Nya sedikitpun. Dan Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.”[10]


1. Bab Wilayat (Mengangkat Pemimpin)

           Dalam perkara memilih kepala pemimpin, majemuk ulama’ bersepakat bahawa wakil yang akan ditabalkan tersebut haruslah mempunyai ciri dan kelayakan sepatutnya. Berbeda dengan konsep keimaman Syiah, kelompok Sunni lebih mengutamakan otoritas dalam setiap wewenang dan kancah kepemimpinan. Dalam mengangkat yang paling ashlah (paling layak dan paling sesuai), ulama’ merujuk kepada tunjukan sunnah dan sumber wahyu, yaitu seperti di dalam hadis riwayat Hakim :

مَنْ وُلِّيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا فَوَلَّى رَجُلًا وَهُوَ يَجِدُ مَنْ هُوَ أَصْلَحُ لِلْمُسْلِمِينَ مِنْهُ فَقَدْ خَان اللهَ وَ رَسُولَهُ

”Barangsiapa yang mengangkat seseorang untuk mengurusi perkara kaum muslimin, lalu mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang yang lebih layak dan sesuai daripada orang yang diangkatnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya”

(Hadis Riwayat Hakim dalam kitab shahihnya)[11]

Sebagian ulama’ meriwayatkan bahawa hadis tersebut adalah ucapan Umar r.a sendiri kepada putranya, Abdullah bin Umar. Sementara itu, Umar bin Al-Khattab sendiri menyatakan bahawa, :

“Barangsiapa yang mengangkat seseorang untuk perkara kaum muslimin, maka ia angkat orang tersebut kerana cinta dan kerana kekerabatan, maka ia telah berkhianat kepada Allah, RasulNya dan kaum Muslimin seluruhnya.”[12]

Pemimpin diseleksi secara selektif dari sejumlah calon yang ada, kemudian dipilihlah yang mempunyai kualitas yang tinggi dan baik. Antaranya adalah memilih orang yang kuat dan dipercayai[13] berdasarkan firman Allah s.w.t :

قَالَتْ إِحْدَىهُمَا يَاءَبَتِ اسْتَـــئْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَـــــئْجَرْتَ الْقَوْيُّ الْأَمِينُ

“Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku. Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja adalah orang yang paling kuat dan dapat dipercaya.”
(Surat Al-Qashash ayat 26)[14]

           Orang yang kuat dimaksudkan dalam hadis tersebut adalah orang yang mempunyai otoritas dalam setiap wewenang kekuasaan. Misalnya dalam kepimpinan peperangan, dia haruslah mempunyai keberanian, kepiawaian mengatur siasat, menyusun dan menerapkan stategi peperangan, selain turut menguasai ilmu bela diri dan menguasai pelbagai jenis peralatan perang. Di samping itu, dia juga berotoritas dalam berhukum terhadap sesama manusia, yaitu bersifat adil sebagaimana dicontohkan dalam Al-Quran dan Sunnah, di samping juga pengaktualisasiannya di tengah-tengah masyarakat. [15]

2. Konsep Dasar Perundang-undangan Sunni


           Menurut Abul ‘Ala Al-Maududi, di dalam hasil karangannya yang berjudul “Khilafah dan Kerajaan”, dia menyatakan bahawa sesebuah negara Sunni mestilah berasas kepada prinsip-prinsip Al-Quran dan Sunnah.[16] Di dalam sesebuah negara Sunni, prinsip-prinsip yang merupakan tumpuan untuk undang-undang dasarnya adalah berdasarkan firman Allah S.W.T:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسُولَ وَ أُوْلِى الْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَ الرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْأَخِرِ ذَالِكَ خَيْرٌ وَ أَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

(Surat An-Nisa’ ayat 59)[17]

Menurut beliau, ada enam konstitusi dasar dari kandungan ayat di atas :[18]

1. Ketaatan kepada Allah dan Rasulnya didahulukan dari segala ketaatan kepada yang lain.
2. Ketaatan kepada Ulil Amri datang setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul.
3. Ulil Amri haruslah terdiri daripada orang-orang mukmin.
4. Rakyat mempunyai hak menggugat para penguasa dan pemerintah.
5. Kekuatan penentu dalam setiap perselisihan adalah undang-undang Allah dan Rasul-Nya.
6. Diperlukan adanya suatu badan yang bebas dan merdeka dari tekanan rakyat maupun pengaruh para penguasa agar dapat member keputusan dalam perselisihan-perselisihan sesuai dengan undang-undang yang tertinggi, yaitu undang-undang Allah dan Rasul-Nya.
3. Islam dan Perubahan Ekonomi Dewasa Ini

           Menurut seorang peneliti barat terhadap agama Islam bernama John L. Esposito, negeri-negeri muslim jarang sekali yang diatur dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam secara ketat. Barangkali sejak kelahiran Islam, kepatuhan yang tegar itu ditaati hanya pada masa-masa di bawah Khalifah Abu Bakar dan Umar. Perlu dicatat bahawa suatu interpretasi yang tegar tentang Islam dalam sebuah masyarakat tidak dapat dicapai dengan ketentuan negara yang sederhana, atau tidak tegas. [19]

           Umpamanya, zakat sebagaimana yang telah dikemukakan, sangat banyak merupakan kewajiban pribadi, karenanya sangat sulit bagi negara untuk memonitor dengan efektif. Dalam banyak hal, jauh lebih sulit pencatatannya daripada pengurusan pajak kekayaan, misalnya pajak pendapatan perkepala.

B. KETATA NEGARAAN SYIAH

           Syiah menurut bahasa adalah pengikut dan pendukung seseorang. Apabila dikatakan “fulan min syi’ah fulan” maksudnya adalah seseorang yang menjadi pengikut seseorang atau membantu meringankan urusan-urusan orang lain. Juga berasal dari kata “musyaya’ah” yang bererti ketaatan dan pengikutan. [20]

           Terdapat banyak pandangan dan pendapat berkenaan lahirnya kelompok Syiah. Diantaranya yang mengatakan Syiah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad S.A.W telah mendominasi dalam percaturan politik Islam. Turut ditemui pendapat bahawa Syiah berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahawa yang berhak menjadi khalifah sesudah nabi adalah Ali.[21]

           Sebagian menganggap kelompok ini mulai ternampak saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshor di Balai Pertemuan Saqifah. Sebagian ahli sejarah menganggap Syiah lahir pada masa akhir khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Talib. Bahkan menurut Dr. Muhammad Mahzum, pendapat paling popular adalah bahawa Syiah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali bin Abi Talib dan Muawiyah bin Abi Sufyan di Siffin, yang lazimnya disebut sebagai peristiwa At-Tahkim, atau arbitasi. Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini dengan mengatakan bahawasanya Syiah adalah mazhab politik pertama lahir dalam Islam.[22]

           Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syiah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan oleh kerana cara pandang yang berbeda di kalangan mereka mengenai sifat imam ma’sum atau tidak, serta perbedaan di dalam menentukan pengganti imam. Syiah yang diteorikan lahir akibat fitnah memiliki konsep dan ajaran tersendiri. Aliran Syiah memiliki mainstream utama berupa kecintaan kepada Ahlul Bait. Hal itu kemudian berkembang setahap demi setahap, sehingga menjadikan Syiah sebagai sebuah mazhab atau aliran yang memiliki ajaran-ajaran tersendiri dalam bidang teologi, fiqih, bahkan politik.[23]

1. Faktor berlaku perpecahan terhadap perkembangan doktrin Syiah

           Secara sosio politik, berkembangnya doktrin Syiah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, imam-imam Syiah, selain Abi bin Abi Talib tidak pernah memegang kekuasaan politik.[24] Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki intefritas dan kesalehan yang tinggi. Mereka tidak mempunyai pengalaman praktis dalam memerintah dan menanggani permasalahan politik riil dan nyata. Ketika mereka melihat realitas politik tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman sebagaimana mereka inginkan, maka mereka mengembangkan doktrin kema’suman imam sebagai pemimpin yang ideal.

           Kedua, sebagian pengikut Syiah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syiah, yang diketahui dahulu kalanya golongan Persia ini mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci. Hal ini terlihat pada salah satu kelompok Syiah yang mempunyai satu paradigm yakni Ali adalah penjelmaan Tuhan yang tinggi martabatnya, bahkan dari Nabi Muhammad sendiri. Bangsa Parsi juga dikatakan mempunyai dendam terhadap golongan Arab,[25] kerana terdapat andaian yakni semasa pemerintahan Khalifah Umar, tanah Parsi milik mereka telah ditakluki oleh tentera Islam pada masa itu. Mereka juga mengklaim bahawa Ali merupakan seorang daripada susur galur Parsia melalui darah ibunya.

           Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syiah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin Al-Mahdi Al-Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari penderitaan semasa.[26]

2. Asal usul teori kepemimpinan Syiah

           Syiah yang pertama tidak pernah mencaci dan mencerca para sahabat nabi. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ada mengatakan, “Syiah yang terdahulu, yakni para pengikut Ali, tidak berselisih pendapat tentang keutamaan Abu Bakar dan Umar. Yang mereka selisihkan adalah keutamaan Usman daripada Ali.[27]

Ibnu Taimiyah turut mengutip daripada salah seorang Syiah pertama, Syuraikh bin Abdillah, bahawa ia pernah ditanya oleh seseorang, “Mana yang lebih utama, Abu Bakar atau Ali?” Syuraikh menjawab, “Abu Bakar”. Orang tersebut berkata lagi, “Mengapa engkau berkata demikian padahal engkau adalah seorang Syiah?” Syuraikh menjawab lagi, “Betul, bahkan siapa yang tidak berkata sepertiku, maka ia bukan Syiah. Demi Allah, Ali sendiri pernah berkata kepadaku bahawa yang terbaik setelah nabi kita adalah Abu Bakar lalu Umar. Bagaimana mungkin kami menolak dan mengingkari perkataannya. Demi Allah, dia bukan pendusta.[28]

           Setelah itu, muncul kelompok Syiah Al-Mufadhilah, yakni kelompok yang lebih mengutamakan Ali ketimbang Abu Bakar dan Umar. Padahal berita mutawatir dari Ali sendiri menyatakan bahawa Abu Bakar dan Umar adalah lebih utama. Ali berkata :

لَا أُوتِيَ بِأَحَدٍ يُفَضِّلُنِي عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَ عُمَرَ إِلَّا جَلَّدْتُهُ جِلْدَ الْمُفْتَرِى

“Siapa yang lebih mengutamakan diriku daripada Abu Bakar dan Umar, pasti aku akan memberikan hukuman kepadanya sebagaimana hukuman bagi para pendusta.”[29]

           Syiah kemudian melangkah lebih jauh dengan memunculkan konsep-konsep berbahaya yang ditandai dengan watak ekstrimitas, penolakan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, mencerca para sahabat nabi, meyakini Ahlul Bait sebagai ma’sum, beriman kepada kebangkitan kembali para imam (ruj’ah) dan washiyyah, serta keyakinan-keyakinan lainnya yang tidak diakui Islam.[30] Orang-orang Syiah ini kemudian dinamakan Syiah Rafidhah (sesat).

3. Konsep pemilihan pemimpin dan teori imam bersembunyi

           Seorang pengkaji perbandingan agama barat, John L.Esposito telah menulis dalam bukunya yang bertajuk “Islam and Democracy” bahawa Syiah Imamiyah (ditulis sebagai Shiisme Imamate) atau Dua Belas, yang mengklaim bahawa pengganti nabi adalah hak tuhan yang diwarisi para keturunannya secara langsung, tidak mengakui pemimpin yang sah selain Ali bin Abi Talib, sepupu dan menantunya, dan sebelas orang keturunan Ali.[31]

           Pada tahun 874, depolitisasi Syiah Imamiyah menjadi sempurna ketika klaim-klaim saingan terhadap Imamiyah dan pencecokan internal menyebabkan ulama’ Syiah mengumumkan kewujudan Imam Kedua belas, yang kononnya telah meninggal pada masa kecilnya, lalu ghaib. Pada tahun 940, diumumkan secara resmi bahawa Imam yang ghaib tersebut tidak akan kembali hinggalah akhir masa dunia nanti. [32]

           Konsekuensinya, Imam dalam urutan keenam, Jaafar As-Sadiq memerintahkan para pengikutnya untuk menghentikan perjuangan bersenjata dan bahkan mengambil sikap menyetujui secara diam-diam terhadap negara Sunni.[33]

           Tidak seperti Syiah lainnya, Syiah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi. Bagi mereka, seorang imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah. Syiah Zaidiyah juga tidak meyakini bahawa Nabi telah menetapkan orang-orang dan nama tertentu untuk menjadi imam. Nabi hanya menetapkan sifat-sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau. Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syiah, yang berpunca daripada pendapat Khawarij yang telah mengkafirkan Ali sejak peristiwa Tahkim. Tentunya, untuk mengimbangi pernyataan dari kaum yang mereka anggap berseberangan dengan mereka ini, maka kelompok Syiah membuat doktrin untuk menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan Ali pada tingkat ma’sum, dan mendoktrinkan bahawa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk pengganti Nabi. [34]

Kaum Syiah menetapkan bahawa seorang imam:[35]

1. Harus ma’sum (terpelihara) salah, lupa dan maksiat.
2. Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
3. Seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubungan dengan syariat.
4. Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.



KESIMPULAN DAN PENUTUP


           Apabila memperkatakan berkenaan konsep ketatanegaraan dalam sesebuah negara, maka secara langsung boleh dikatakan bahawa setiap isi di dalamnya, sama ada dari pemerintah mahupun rakyatnya turut berpegang kepada prinsip tersebut.

           Daripada perbahasan bab dua tersebut, dapatlah dirangkumkan bahawa ketatanegaraan dalam sebuah negara dapat dinilai dari dua aspek penting, yaitu sudut wilayat, atau difahami sebagai amanat berjabatan dan metodologi pengangkatannya, serta pelaksaan amanat negara, khususnya dalam bentuk pengelolaan harta kekayaan negara.

           Berkisar aspek wilayat dalam pemerintahan, disimpulkan bahawa golongan Sunni sepakat berasal daripada sistem kekhalifahan, yang kemudiannya secara perlahan-lahan mula diserap dengan sistem pemerintahan demokratis sejak jatuhnya kepimpinan khilafah. Walhal dari sudut pandang Syiah pula, didapati bahawa Syiah yang dikenali kini berpegang dengan iman para imam dari sudut akidahnya, dan mengamalkan ketatanegaraan republik dinasti, yang kelihatan jelas sebelum belakunya revolusi publik Iran oleh Imam Ayatullah Khomeni.

           Berdasarkan kedua perbandingan di atas, maka dapatlah dinilai pegangan yang diperoleh daripada kedua pahaman besar ini tidak lain dan tidak bukan terkait dengan isu pahaman lampau dan sejarah politik yang boleh disifatkan berkepentingan dan peribadi. Lalu atas sebab inilah juga, secara perlahan-lahan mula timbul beberapa perpecahan kecil di kalangan umat Islam sendiri, masing-masing tetap dengannya dan mengklaim diri sebagai yang paling baik dan benar, walaupun terdapat perbedaan di antara pahaman keduanya.



DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Al-Quranul Karim dan Terjemahannya, Kementerian Agama Republik Indonesia, Bandung: CV Insan Kamil

Abul, ‘Ala Al-Maududi. 1996. Khilafah dan Kerajaan, diterjemah oleh Muhammad Al-Baqir, Cetakan Keenam. Bandung: Mizan.

Esposito L., John. 1990. Islam dan Pembangunan, diterjemah oleh Drs. Sahat Simamora, Cetakan Pertama, Jakarta : Rineka Cipta.

Mahzum, Muhammad. 1999. Meluruskan Sejarah Islam; Studi Kritis Peristiwa Tahkim, diterjemah oleh Drs. Rosihan Anwar, M.Ag., Cetakan 1, Bandung : CV Pustaka Setia.

Taimiyah, Ibnu. 1999. Siyasah Syar’iyah; Etika Politik Islam, diterjemah oleh Rofi’ Munawwar, Cetakan Kedua. Surabaya : Risdah Gusti.



Makalah :

Dartiwi, Norviza. Makalah Fiqh Siyasah; Pemikiran Politik Sunni, Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah, Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah, Palembang Tahun 2008-2009.



Website :

http://kumpulan-segalailmu.blogspot.com/2013/07/pemikiran-politik-sunni-syiah-khawarij.html

_________________________________________________________________________________
[1] Ibnu Taimiyah (Terjemahan Rofi’ Munawwar), Etika Politik Islam, (Surabaya: Risdah Gusti, 1999), h. 3
[2] Norviza Dartiwi, Makalah Fiqh Siyasah; Pemikiran Politik Sunni, Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah, Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah, (Palembang,2008) h. 1
[3] http://kumpulan-segalailmu.blogspot.com/2013/07/pemikiran-politik-sunni-syiah-khawarij.html
[4] Ibid. Norviza Dartiwi, h. 2
[5] http://kumpulan-segalailmu.blogspot.com/2013/07/pemikiran-politik-sunni-syiah-khawarij.html
[6] Abul ‘Ala Al-Maududi (Terjemahan Muhammad Al-Baqir), Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1996), h. 81
[7] Al-Quran dan Terjemahan, h. 87
[8] Ibid. h. 161
[9] Ibid. h. 106
[10] Ibid. h. 193
[11] Ibid. Ibnu Taimiyah, h. 3
[12] Ibid. Ibnu Taimiyah, h. 4
[13] Ibid. Ibnu Taimiyah, h. 10
[14] Al-Quran dan Terjemahan, h. 388
[15] Ibid. Ibnu Taimiyah, h. 12
[16] Ibid. Abul ‘Ala Al-Maududi, h. 72
[17] Ibid. Kementerian Agama Republik Indonesia, (Bandung: CV Insan Kamil), h. 87
[18] Ibid. Abul ‘Ala Al-Maududi, h. 72
[19] John L. Esposito (Terjemahan Drs. Sahat Simamora), Islam dan Pembangunan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 85
[20] Dr. Muhammad Mahzum (Terjemahan Drs. Rosihan Anwar), Meluruskan Sejarah Islam; Studi Kritis Peristiwa Tahkim, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 79
[21] Ibid. Dr. Muhammad Mahzum, h. 79
[22] Ibid. Dr. Muhammad Mahzum,h. 80
[23] Ibid. Dr. Muhammad Mahzum,h. 80
[24] Ibid. Norviza Dartiwi, h. 6
[25] Ibid. Dr. Muhammad Mahzum, h. 79
[26] Ibid. Norviza Dartiwi, h. 5
[27] Ibid. Dr. Muhammad Mahzum, h. 80
[28] Ibid. Dr. Muhammad Mahzum, h. 80
[29] Ibid. Dr. Muhammad Mahzum, h. 81
[30] Ibid. Dr. Muhammad Mahzum,h. 82
[31] Ibid. John L. Esposito, h. 150
[32] Ibid. John L. Esposito, h. 150
[33] Ibid. John L. Esposito, h. 151
[34] Ibid. Dr. Muhammad Mahzum, h. 83
[35] Ibid. Norviza Dartiwi, h. 8

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

5 Masjid Paling Cantik di Perak